Sabtu, 15 Desember 2018

POTENSI BUDIDAYA IKAN SIDAT



POTENSI BUDIDAYA SIDAT

Budidaya ikan sidat (Anguilla bicolor) salah satu peluang usaha yang sangat potensial untuk dikembangkan. Dalam kegiatan budidaya perikanan terdapat pengelolaan intensif dengan melakukan pengelolaan air, seleksi benih, pengelolaan pakan, pengendalian hama dan penyakit setiap komponen tersebut terkait erat, namun usaha yang paling menentukan secara ekonomis adalah pengelolaan pakan. Kendala pada pengembangan budidaya pembesaran ikan ini adalah kualitas pakan yang tersedia tidak sesuai dengan kebutuhan nutrisi pada ikan yang dipilihara.
Indonesia berpotensi untuk  mengembangkan budidaya sidat karena  mempunyai jenis ikan sidat yang beragam.  Miller & Tsukamoto (2004) melaporkan bahwa  di dunia terdapat 18 jenis sidat, tujuh  diantaranya ditemukan di perairan Indonesia  (Sugeha et al. 2006). Jenis sidat yang sudah  banyak dibudidayakan di Indonesia baru  Anguilla bicolor (Peni, 1993). Jenis tersebut  terbagi menjadi dua subspecies, yaitu A.  bicolor bicolor dan A. bicolor pacifica (Watanabe et al., 2005).  
Sidat merupakan sumberdaya  perikanan yang banyak menarik perhatian, baik dari kalangan peneliti maupun praktisi.  Hal ini dikarenakan mempunyai siklus hidup  yang unik, bergizi tinggi, dan bernilai  ekonomis tinggi baik untuk pasar lokal  maupun ekspor (Haryono, 2008). Daging sidat  memiliki kandungan protein yang tinggi 16,4%  dan vitamin A sebesar 4700 IU (Pratiwi,  1998). Secara ekonomi, Hernando (2007)  menyebutkan bahwa di Indonesia sidat belum  menjadi makanan populer, sebaliknya di  Jepang harganya sangat tinggi.  
Siklus hidup sidat sangat kompleks,  salah satu tahapan yang menarik adalah  perpindahan antara leptocephalus yang hidup  di laut menjadi glass eel yang  beruaya/bermigrasi memasuki perairan tawar  (Davey & Jellyman, 2005; Aida dalam Linton et al. 2007). Ikan sidat mempunyai kebiasaan  hidup memijah di laut yang hangat pada  kedalaman sekitar 400 m (Matsui, 1982).  Benih sidat akan masuk muara sungai pada  malam hari ketika pasang tinggi dan salinitas  di muara sungai rendah (Matsui, 1982; Tesch,  2003; Dou & Tsukamoto, 2003; Linton et al.,  2007).  
Tingginya tingkat penangkapan  berakibat makin terancamnya ketersediaan  benih sidat di alam. Diantaranya adalah  penurunan hasil tangkapan sidat Eropa  (Anguilla anguilla) yang tinggal 5-10%  dibandingkan tahun 1970an (ICES 2007  dalam Aalto et al. 2016). Bahkan jenis sidat ini  sudah masuk dalam daftar Appendix II CITES  (Charrier et al. 2012). Penurunan hasil  tangkapan benih sidat secara drastis juga terjadi pada spesies sidat Amerika (Anguilla  rostrata) dan sidat Jepang (Anguilla japonica) (Harisson et al. 2014). Kondisi serupa dapat  menimpa terhadap sidat di Indonesia bila  tidak dikelola dengan baik. Berkurangnya  hasil tangkapan benih sidat dapat  disebabkan oleh tingginya tingkat ekpsloitasi, menurunnya kualitas lingkungan berupa  pencemaran air, sedimentasi, penambangan,  dan dampak pembangunan lainnya. Oleh karena itu diperlukan identifikasi ancaman  yang terdapat di sekitar habitat ruaya benih  ikan sidat Indonesia.  Daerah penangkapan benih sidat di Indonesia terutama di pantai barat Sumatera dan pantai Selatan Jawa (Sutardjo & Mahfudz, 1972; Affandi et al., 1995; Sarwono,  1999). Hal ini terkait dengan lokasi  pemijahannya. Menurut Feunteun (2002),  bahwa lokasi pemijahan sidat jenis A. bicolor  salah satunya adalah di Samudera Indonesia  bagian barat daya Sumatera.

Klasifikasi Menurut Nelson (1994) ikan sidat diklasifikasikan sebagai berikut:
Filum : Chordata
Kelas : Actinopterygii
Subkelas : Neopterygii
Division : Teleostei
Ordo : Anguilliformes
Famili : Anguillidae
Genus : Anguilla
Species :  Anguilla spp.

Nama spesies : Anguilla bicolor Sidat ( Anguilla spp.) merupakan ikan konsumsi yang memiliki nilai ekonomis penting baik untuk pasar lokal maupun luar negeri. Permintaan pasar akan ikan sidat sangat tinggi mencapai 500.000 ton per tahun terutama dari Jepang dan Korea,  pemasok utama sidat adalah China dan Taiwan (Anonim, 2006). Sidat yang dikenal dengan ’unagi’ di Jepang sangat mahal harganya karena memiliki kandungan protein 16,4% dan vitamin A yang tinggi sebesar 4700IU (Pratiwi, 1998).
Morfologi Tubuh sidat berbentuk bulat memanjang, sekilas mirip dengan belut yang biasa dijumpai di areal persawahan. Salah satu karakter/bagian tubuh sidat yang membedakannya dari belut adalah keberadaan sirip dada yang relatif kecil dan terletak tepat di  belakang kepala sehingga mirip seperti daun telinga sehingga dinamakan pula belut bertelinga. Bentuk tubuh yang memanjang seperti ular memudahkan bagi sidat untuk berenang diantara celah-celah sempit dan lubang di dasar perairan. Panjang tubuh ikan sidat bervariasi tergantung jenisnya yaitu antara 50-125 cm. Ketiga siripnya yang meliputi sirip  punggung, sirip dubur dan sirip ekor menyatu. Selain itu terdapat sisik sangat kecil yang terletak di bawah kulit pada sisi lateral. Perbedaan diantara jenis ikan sidat dapat dilihat antara lain dari  perbandingan antara panjang  preanal (sebelum sirip dubur) dan predorsal  (sebelum sirip punggung), struktur gigi pada rahang atas,  bentuk kepala dan jumlah tulang belakang.
Kebiasaan Makan Ikan Sidat Berdasarkan analisis isi lambung ikan sidat dewasa didapatkan  jenis makanannya adalah kepiting, udang dan keong. Sedangkan pada elver  dan glass eel, jenis makanannya tidak teridentifikasi. Berdasarkan penelitian Pirzan dan Wardoyo (1979) ikan sidat pada  stadia elver  memakan plankton, ikan kecil, udang-udangan dan insekta. Sedangkan glass eel yang baru masuk ke cabang sungai isi lambungnya kosong. Menurut Sutardjo dan Mahfudz (1971) ikan sidat yang berukuran 14,5 B 66,3 cm sebagian besar makanannya berupa udang.Jenis-jenis makanan ikan sidat tersebut sesuai dengan keberadaan jenis-jenis organism yang tersedia di habitatnya. Oleh karena itu pertumbuhan dan kehidupan ikan sidat sangat tergantung  pada kehidupan organism bentik baik insekta, moluska maupun dekapoda. Di alam ikan sidat memakan bermacam-macam insekta, cacing dan ikan kecil. Ikan sidat jantan akan matang gonad pada umur 3-4 tahun, sedangkan sidat betina 4-5 tahun. Setelah ikan dewasa akan kembali ke laut dan mencari spawning ground lalu mati setelah memijah ( spawn).
Pertumbuhan adalah pertambahan ukuran baik panjang volume atau berat dalam satu waktu tertentu (Effendie, 1997). Weatherley (1972) dalam Sriati (1998) mengemukakan bahwa  pada stadia juvenil, ikan sidat mempunyai laju pertumbuhan yang cepat, di mana panjang berat bersifat linier. Hal ini disebabkan karena pada stadia juvenil belum terjadi perkembangan gonad, sehingga kelebihan energi yang masuk seluruhnya digunakan untuk pertumbuhan. Umumnya di daerah tropis makanan merupakan faktor yang sangat berpengaruh demi pertumbuhan ikan sidat. Pada keadaan normal, ikan akan mengkonsumsi makanan relatif lebih banyak sehingga pertumbuhannya sangat cepat. Selain itu keberhasilan dalam mendapatkan makanan akan menentukan pertumbuhan ikan tersebut (Affandi dan Riani ; 1994). Hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa khusus untuk daerah tropis, pertumbuhan terjadi pada bulan April hingga September, dan pada periode tersebut ikan sidat aktif dalam mencari makan.
Beberapa penyebab pertumbuhan larva lambat adalah nafsu makan kurang, kualitas pakan tambahan rendah dan jumlah pakan yang kurang, serta padat penebaran yang terlalu tinggi. Selain itu faktor yang dapat mempengaruhi rendahnya kelangsungan hidup  benih ikan sidat, adalah persiapan bak atau wadah pemeliharaan  benih yang kurang sempurna, padat penebaran yang terlalu tinggi, adanya serangan penyakit ekor putih (Sasongko dkk., 2007).




Disarikan dari berbarbagai sumber


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MINA PADI

BUDIDAYA NILA SISTEM MINA PADI PENDAHULUAN Sistem mina padi merupakan cara pemeliharaan ikan di sela-sela tanaman padi, seba...

Popular